Feb 26, 2018

[Review] Yowis Ben (2018) : Pembuktian Orang Jawa


Waktu pertama kali tahu bahwa Bayu Skak dan Mas Fajar Nugros berkolaborasi membuat film, saya langsung berkata : "Aku mesti delok film iki" [arti : saya harus nonton film ini]

Bagaimana tidak film ini adalah film yang terinpirasi dari film Uang Panai yang 80% penggunakan Bahasa Makasar dan tidak ada aktor yang berasal dari ibu kota. Hal inilah yang membuat Bayu semakin yakin bahwa filmnya akan sukses. Karena seperti diketahui bahwa penduduk terbanyak di Indonesia adalah etnis Jawa. 

Sekarang kita akan menuju tentang ceritanya yang sedikit mirip dengan film thailand Suckseed (2011). Bahkan ada yang berkata bahwa film ini adalah plagiat Suckseed, padahal di tahun 2006 pernah ada film Garasi yang berlatar di Kota Bandung. Jadi tema yang sama bukan berarti adalah plagiat film tersebut. Film ini bercerita tentang keinginan Bayu (Bayu Skak) dan Doni (Joshua Suherman) agar tidak dipandang sebelah mata. Bayu adalah anak penjual pecel dan ketika sekolah Bayu membawa pecel dagangan Ibunya untuk dijual. Sedangkan, Doni selalu diremehkan oleh orang tuanya dan dibandingkan dengan adiknya. Untuk memuluskan rencana mereka membuat band mereka merekrut Yayan (Tutus Thompson) yang sehari-hari adalah penggebuk Bedug di Masjis sebagai Drummer. Selain itu mereka berdua juga membujuk Nando (Brandon Salim) yang berparas rupawan sebagai keyboardist. Tentunya tak mudah bagi mereka untuk dapat menunjukkan kualitas mereka nge-band. Namun, ada ide untuk mempopulerkan lagu mereka dengan cara yang kekinian [untuk tahu nonton aja deh].



Sebenarnya ngeband mereka makin bagus dan laris, namun tentunya dalam sebuah band ada yang namanya pertengkaran. Apalagi kalau tidak berhubungan dengan cewek. Cewek itu bernama Susan (Cut Meyriska) yang tergila-gila dengan salah satu personel [tonton aja dah biar tahu] dan membuat nge-band jadi kurang harmonis.

Untuk cerita memang standar sih sinopsisnya, tapi yang membuat menarik adalah kejadian seperti di Kota Malang adalah hal yang jamak. Kewajiban anak SMA di Kota Malang itu ada dua, pertama belajar dan yang kedua band-band-an. Melihat film ini laksana saya kembali bernostalgia kembali ke masa SMA, ngeband. Oh ya, ada penampilan khusus dari Legenda hidup Ludruk Cak Kartolo dan Cak Sapari. Kehadian beliau berdua tidak hanya sebagai tempelan tapi juga sebagai gambaran orang Malang kalau bertandang ke warung.



Banyak yang menilai kalau guyonan di film ini cenderung cepat dan to the point. Boleh dibilang seperti itu pulalah karakter orang Malang. Tegas, lugas [to the point] dan cepat.Saya rasa di sini Mas Fajar dan Bayu berhasil menggambarkan bagaimana kehidupan di Kota Malang. Ada orang asli Malang seperti Bayu, Doni dan Yayan. Ada pendatang yang kalau bicara jawa gak medok seperti Nando serta ada pendatang yang blas gak bisa jawa seperti Susan. Saya Jadi ingat masa SMA saya dimana ketika kelas 1, ada teman yang berasal dari Sumatera dan saya memaksanya bicara dengan bahasa jawa hahahaha.

Kekurangan dari film ini adalah peran Cut Meyriska yang begitu penting, tapi kurang tereskplore. Selain itu beberapa set ada yang seperti hasil dari greenscreen yang terasa kurang smooth. Untuk konflik jangan berharap seperti Ayat-ayat Cinta 2 atau Surga yang tak dirindukan, karena ini film remaja bukan drama poligami religi. Saya mengacungi jempol kepada Arif Didu yang berperan sebagai pak lek [paman] Bayu bernama Cak Jon yang medoknya lumayan.



Jadi apa kesimpulan dari dari gacoran ulasan ini?

Tonton ajalah bro & sis gak usah peduli dengan bahasa, karena ada subtitle yang isinya bukanlah terjemahan tapi makna dari film ini.

No comments:

Post a Comment